Muslim Tionghoa di Indonesia

Artikel Dari: Portal Komuniti :: Ukhwah.com

http://www.ukhwah.com:443/ukhwah/



Tarikh: Rabu, 07 Julai 2004 @ 23:03:25
Topik: Umum



Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah terjadi sebelum masehi.

S ebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak itu mulai tersebarlah Islam di Cina.

Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan. Jalan ini terkenal dengan nama “jalur sutra”. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi hantar etnis Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam. Kedatangan imigran Musim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara dari negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif (rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di masa kolonial.

Kedatangan etnis Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara, tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal dari daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan provinsi Guangdong. Tapi di zaman pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda.

Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi Muslim.

Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Sh’ban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah. Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidaklah aneh pada daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak yang beragama Islam.

Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7 (tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1425 sampai tahun 1431 M adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang, Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton dll.

Dari Catatan MA Huan, anggota muhibah pelayaran Laksaman Zheng He, bahwa pada pertengahan abad XV, di kerajaan Majapahit terdapat perantau Cina Muslim yang berasal dari Zhanghou, Quanzhou dan Provinsi Guangdong.

Dari beberapa sumber seperti dalam Seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam Di Indonesia” yang diselenggarakan di Banda Aceh pada September 1980 dan buku-buku antara lain “Islam Di Jawa” , “Islamisasi Di Jawa”, Walisanga Menyebar Islam menurut Babad “Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo”, beberapa wali di antara Walisanga ada beberapa yang mengalir darah Tionghoa.

Dari riwayat tersebut, Muslim Tionghoa di Nusantara Sudah terbaur dengan penduduk setempat. Tetapi ketika Kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah(devide et impera) mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan. Etnis Tionghoa termasuk golongan Timur Asing dan pribumi Inlander yang mayoritas beragama Islam diberi fasilitas tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini membuat etnis Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk setempat.

Kelompok-kelompok masyarakat etnis Tionghoa di pimpin oleh Kapten, Mayor Tionghoa, yang pada umumnya dari kalangan non-Muslim. Dari data yang ada, Kapiten Cina Muslim terakhir, pada pertengahan abad XVII, bernama Caitson, berganti nama menjadi Abdul Gafur, diangkat menjadi Syahbandar Banten.

Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat istiadat suatu golongan menjadi golongan tesebut. Islam mengantar etnis Tionghoa melebur dan menjadi bagian pribumi. Hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa non-Muslim yang kian terpisah dengan pribumi, seperti air dan minyak.

Pada masa gerakan kemerdekaan, Muslim Tionghoa ikut pula berperan. Salah satu perannya adalah menjadi peserta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.

Pada perkembangannya, jarak yang muncul dengan etnis Tionghoa mengundang beberapa Muslim Tionghoa untuk memperbaiki kerenggangan tersebut. Salah satunya adalah Haji Yap Siong yang berasal dari kota Moyen, Cina. Setelah belajar Islam ia menjadi Muslim pada tahun 1931 dan mendirikan organisasi dakwah yang diberi nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di kota Deli Serdang, Sumatera Utara. Dakwah beliau dimulai dari Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dan menyeberang ke Jawa Barat sampai Jawa Timur. Berdakwah dalam bahasa Mandarin dan memperoleh izin dakwah pada waktu itu dari pejabat-pejabat Kolonial Belanda.

Pada tahun 1950 bersama Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu yang pada tahun 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Keduanya bertemu di Jakarta dan mengembangkan PIT. Pada tahun 1953, Kho Guan Tjin mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan MUslim Tionghoa (PMT), di Jakarta. Pada tahun 1954, kedua Organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pada tanggal 14 April 1961, di Jakarta, atas prakarsa H. Isa Idris, dari pusat Rohani TNI AD, lahirlah PITI. Sebuah nama dengan kepanjangan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Tujuan PITI adalah mempersatukan antara Muslim Tionghoa dan Muslim Imdonesia, Muslim Tionghoa dengan Etnis Tionghoa dan etnis Tionghoa dengaan Indonesia Asli.

Pada awal tahun 1972, Kejaksaan Agung RI dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada tanggal 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Demikian Kiprah Muslim Tionghoa sejak kedatangannya di Nusantara sampai saat ini di segala bidang kehidupan sesuai dengan profesinya.v