Ada yang tak beres. Setidaknya begitulah menurutku. Entah siapa yang memulai, kami berjarak kini. Aku tak tahu kesalahan apa yang kubuat hingga ia menjauhiku. Tak mungkin sahabatku sendiri menjauhiku. Seandainya pun aku bersalah, ia pasti akan mengatakannya. Aku tahu, Nura takkan membiarkan aku terus menerus dalam kesalahan. Ia sahabat sejatiku.
Dalam keremangan cahaya lampu kamar, aku memandang langit-langit. Mengingat-ngingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Dulu kami tidak seperti ini. Nura selalu punya waktu menemuiku dirumah. Meneleponku untuk mengabarkan atau menanyakan hal-hal penting mengenai kami berdua. Tak jarang kami saling mengingatkan janji tentang apa yang akan kami laksanakan esok hari.
Aku tersenyum melihat semua itu. Juga saat-saat kami mengerjakan PR(pekerjaan rumah) atau tugas-tugas kuliah. Diskusi panjang mengenai situasi hati kami masing-masing, berdebat tanpa akhir tentang apa saja perihal kenyataan hidup saat ini, mengenai cita-cita kami, impian kami, bahkan hal-hal konyol yang membuat kami tertawa sampai keesokan harinya. Aku merindukan semua itu. Bahkan juga suara lembutnya mengucapkan salam di pintu rumahku.
Seminggu yang lalu aku ke rumahnya. Kunjungan pertamaku setelah kusadari kami berjarak. Apalagi saat itu aku sedang sangat memerlukannya. Beberapa hari ini aku merasa agak kacau dan aku menyadari memerlukan sepasangan tangan untuk merengkuh pundakku, yang menyenangkan hatiku dan membuatku percaya bahwa semua kan berlalu dengan sebaik-baiknya. Ternyata aku tak mendapatkan sepasang tangan itu sekarang. Nura tak ada di rumahnya.
Aku lupa kalau sore itu Nura punya jadwal mengajar. Aku pulang dengan tangan hampa, tanpa tangan Nura yang menyalamiku seperti biasa saat kami bertemu dan kan berpisah. Aku mencoba mengerti. Nura memiliki amanah lain yang lebih penting. Jelas Nura tak boleh meninggalkan amanah itu demi apapun. Termasuk aku. Kucatat dalam hatiku, sore adalah waktu terlarang bagiku untuk mengganggunya. Aku mencoba mencari waktu lain.
Sepanjang malam aku menunggu teleponnya. Kuharap keluarganya memberitahu dia kalau tadi aku datang. Tentunya, ia kan meneleponku untuk menenyakan ada apa. Ternyata aku harus menunggu lebih lama lagi. Nura tidak meneleponku. Aku mencoba tenang. Mungkin keluarganya lupa. Kuputuskan untuk meneleponnya pagi harinya. Tapi, aku harus kecewa lagi. Nura sudah pergi. Baiklah, hari itu kuharap kami akan bertemu di kampus. Tapi, ya Tuhan, lagi-lagi Nura tidak ada. Sedemikian sibuknyakah ia sampai aku tak punya tempat lagi dalam waktunya? Aku panik. Terjebak dalam dua masalah sekaligus. Pertama masalahku sendiri dan kedua masalah menghilangnya Nura dalam detik-detik penting ini.
Seminggu ini aku berupaya untuk menghubungi Nura. Tiap aku mendatangi rumahnya, ia sudah pergi. Setiap aku meneleponnya, ia tak ada. Sepanjang hari aku menunggunya di rumah. Sepanjang malam aku menunggu teleponnya. Jika kau pulang dari suatu tempat, aku selalu berharap akan menemukannya tengah menungguku. Ah, penantianku ini akhirnya telah menghabiskan waktu sebulan. Jadi sudah sebulan ini aku tak menemukan sahabatku sendiri. Sahabat yang tinggal dalam satu kota, berjarak hanya beberapa ratus meter dan kuliah di satu fakultas.
Aku marah. Sangat marah. Kenapa ia meninggalkanku seperti itu? Kenapa ia tidak tahu saat ini aku tengah teramat sangat memerlukannya? Kenapa ia sampai tak mendengar aku meneriakkan namanya? Kenapa ia tega sekali membiarkan aku menangis sendiri? Aku duduk memeluk lutut. Membiarkan keremangan cahaya meliputi kesedihanku. Air mataku turun perlahan. Membuat bayangan telepon di samping tempat tidurku mengabur. Mungkinkah Nura akan meneleponku? Please, Ra. Aku rindu sekali. Kugigit bibirku. Merasakan pedih hatiku.
Tanpa bisa kutahan, tanganku yang gemetar meraih gagang telepon. Tapi, jariku yang menekan tombol tiba-tiba berhenti. Aku menelepon Nura? Kenapa harus aku? Seharusnya Nuralah yang meneleponku. Aku memang rindu sekali padanya. Tapi ingat, aku pun marah padanya.aku marah, karena bagiku sebagai sahabat Nura sudah mengabaikanku. Meninggalkanku. Meninggalkanku tanpa peduli dengan kesedihanku. Tapi ya Tuhan, aku rindu sekali.
Akhirnya kuputuskan untuk meneleponnya. Dering keempat, telepon diangkat. Terdengar suara disana. Suara Nura! Itu Nura yang menjawab. Kukatupkan bibirku. Kugigit lidahku. Kupejamkan mataku. Air mataku kembali mengalir. Dengan tersenyum pedih kukembalikan gagang telepon ketempatnya. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Bagiku mendengar suara Nura sudah cukup. Artinya ia baik-baik saja. Itu yang penting.
Tanganku meraih foto di samping pesawat telepon. Foto aku dan Nura yang sedang tersenyum. Begitu bahagia. Tampak tak terpisahkan. Aku kembali tersenyum seolah-olah membalas senyum Nura di foto itu.
?Nura aku sayang kamu,? bisikku.
Tiba-tiba telepon berdering. Nura, kaukah itu? Dengan cepat kuraih gagangnya.
?Assalamu?alaikum, Aura. Ini aku, Nura.?
By Cempaka