Array
![]() |
![]() | Create An Account | Home · Topik · Statistik · Your Account · Hantar Artikel · Top 10 |
![]() | 13-02-2025 |
|
Bincang Agama
|
Moderator: ibnu_musa, Administrator, ABg_IMaM |
Please Mendaftar To Post |
Oleh | Hadis2 tidak sahih tentang puasa |
---|---|
masri2 ![]() ![]() |
![]()
http://darulkautsar.com/penghadis/puasa/puasa.htm
PUASA 1 Awal Ramadhan adalah rahmat, pertengahan keampunan dan akhir pembebasan dari neraka Az-Zahabi menyebutkan dalam Al-Mizan dari riwayat Hisyam bin ' Ammar dari jalan Sallam bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Shalti dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda : Ertinya: Awal bulan Ramadhan adalah rahmat , pertengahannya keampunan dan akhirnya ialah pembebasan dari Neraka Hadith ini adalah Munkar Kata Az-Zahabi : Ibnu 'Adiy berkata : Sallam ini munkar Hadithnya , demikian pula kata Al-'Uqaili . Salah satunya ialah hadith ini . ( * ) Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Ad-Dunya, Al-Khatib dan Ibn 'Asakir. Kata Al-Albani: Hadisnya sangat dhaif. Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 500 2 Tidur orang yang berpuasa itu adalah satu ibadat Ad - Dailami meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w bersabda : Ertinya: Tidur orang yang berpuasa itu adalah satu ibadat Hadith ini Maudhu' Penyakitnya ialah Sulaiman bin 'Amru , iaitu Abu Daud An-Nakha'i , seorang pembohong dan sangat terkenal mereka Hadith . Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar : Lebih daripada tiga puluh orang ( ulama hadith ) mengatakan ia mereka Hadith . Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 478 3 Manafaat melaparkan perut Al-Ghazali menyebutkan dalam Al-Ihya' bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda : Ertinya: Barangsiapa yang melaparkan perutnya nescaya besarlah fikirannya dan cerdiklah hatinya Kata Al-Iraqi : Hadith ini tiada asalnya Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 479 4 Penghulu segala amalan adalah lapar Al-Ghazali menyebutkan dalam Al-Ihya' bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda : Ertinya: Penghulu segala amalan itu ialah lapar dan kehinaan diri ialah pakaian bulu Kata Al-'Iraqi : Hadith ini tiada asalnya . Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 479 5 Perkhabaran-perkhabaran ghaib sepanjang di bulan Ramadhan Ibnu - Jauzi menyebutkan dari riwayat Muhammad bin Abu Tahir Anas r.a. katanya : Rasulullah s.a.w bersabda : Ertinya: Apabila malam pertama bulan Ramadhan berserulah Tuhan Al- Jalil akan Malik Ridhwan penjaga Syurga seraya berfirman : Persiapkan Syurgaku dan hiasilah dia untuk orang - orang yang berpuasa dari umat Ahmad , janganlah engkau menutupnya bagi mereka sehingga habis bulan mereka ( Ramadhan ). Kemudian Tuhan Al-Jalil memanggil Malaikat penjaga Neraka : Hai Malik ! Malik menjawab : Ya Tuhanku! Kemudian Allah berfirman : Tutuplah pintu - pintu Neraka Jahim dari orang - orang yang berpuasa dari umat Ahmad dan janganlah engkau membukanya untuk mereka . Kemudian menyeru Jibrail : Ya Jibrail ! Lalu Jibrail menjawab : Ya Tuhanku ! Lalu Tuhan berfirman : Turunlah engkau ke bumi dan rantaikan syaitan - syaitan yang jahat itu supaya mereka tidak merosakkan puasa umat Ahmad. Pada tiap - tiap hari bulan Ramadhan iaitu di kala matahari naik dan di kala berbuka puasa Allah mempunyai orang - orang yang dibebaskan dari Neraka laki - laki dan wanita . Pada tiap - tiap langit Allah mempunyai seorang Malaikat yang balungnya di bawah ' Arasy Ar-Rahman manakala dua kakinya berada diperbatasan bumi ketujuh yang bawah , satu sayapnya berada di Masriq yang bertatahkan marjan , mutiara besar dan permata , dan satu sayap lagi berada di Mahgrib yang bertatahkan dengan marjan , mutiara besar dan permata , Malaikat itu berseru : Adakah orang yang bertaubat yang akan diterima taubatnya ? Adalah orang yang berdoa' yang akan diqabulkan doa'nya ? Adalah orang yang teraniaya yang akan ditolong ? Adalah orang yang memohon ampun yang akan diberikan keampunan ? Adakah orang yang meminta yang akan diberikan permintaannya ? Nabi bersabda lagi : Dan Tuhan berseru sepanjang bulan Ramadhan: Para hambaku laki-laki dan perempuan , bergembiralah, hampir - hampir akan diangkat dari kamu akan makanan - makanan ini kepada rahmat dan kemuliannku Apabila malam Lailatul-Qadri Jibrail turun dalam satu golongan para Malaikat yang berselawat ( berdoa') ke atas tiap - tiap hamba Allah yang bangun dan yang duduk berzikir kepada Allah Azza Wa Jalla Apabila Hari Raya Fitrah Allah membanggakan mereka kepada para Malaikatnya : Hai para Malaikatku , apakah balasan bagi buruh yang telah menunaikan kerjanya ? Para Malaikat menjawab : Ya Tuhan kami , balasannya ialah disempurnakan upahnya. Allah lalu berfirman : Hamba - hambaku yang laki - laki dan perempuan, telah menunaikan kewajipanku atas mereka, kemudian mereka keluar dengan mengangkatkan suara mereka berdoa' kepadaku. Demi kebesaran dan kemuliaanku, demi ketinggian tempatku, pasti Aku akan kabulkan doa' mereka pad hari ini. Kembalilah, sesungguhnya Aku telah memberi keampunan kepada kamu dan Aku telah gantikan kejahatan - kejahatan kamu dengan kebaikan - kebaikan , maka mereka pun kembali dengan mendapat keampunan ). Hadith ini adalah Maudhu' Kata Ibnul- Jauzi: Hadith ini tidak sah . Ashram yang terdapat dalam sanadnya ialah Ashram bin Hausyab. Kata Yahya : Dia adalah pembohong yang sangat jelek . Kata Ibnu Hibban : Ashram ini membuat Hadith atas orang - orang yang thiqah . Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 503 6 Kelebihan Puasa di bulan Rejab Abu Muhammad Al- Khallal , Ad-Dailami , Al-Ashbahani meriwayatkan dari Mansor bin Yazid Al-Asadi , dari Musa bin 'Imran , dari Anas bin Malik r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda : Ertinya: Bahawasanya di dalam Syurga ada sebuah sungai yang dipanggil Rejab , airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu , barangsiapa berpuasa sehari sahaja dari bulan Rejab nescaya Allah memberinya minum dari sungai itu. Kata Az-Zahabi : Mansor bin Yazid tidak dikenali orangnya dan khabarnya ( Hadithnya ) adalah Batil Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 514 7 Puasa bulan Rejab Ibnu - Jauzi menyebutkan dari riwayat Muhammad bin Abdul - Baqi dari jalan Abu Bakr Muhammad bin Al-Hasan An Naqqasy , dari Abu Sa'id r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda : Ertinya: Rejab adalah bulan Allah , Sya'ban bulanku dan Ramdahan bulan umatku , maka barangsiapa yang berpuasa bulan Rejab dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah , maka ia wajib mendapat keridhaan dari Allah Yang Maha Agung dan menempatkan dalam Syurga Al-Firdaus yang tertinggi . Barangsiapa berpuasa dua hari dari bulan Rejab maka baginya pahala dua kali ganda , timbangan tiap - tiap ganda bagaikan bukit - bukit di dunia . Barangsiapa berpuasa tiga hari dari bulan Rejab maka Allah menjadikan antaranya dan Neraka sebuah parit yang panjangnya sepanjang perjalanan setahun . Barangsiapa berpuasa empat hari dari bulan Rejab maka ia akan diselamatkan dari bala , gila , kusta dan sopak , dari fitnah Al-Masih Ad - Dajjal dan dari azab kubur. Barangsiapa berpuasa enam hari dari bulan Rejab, maka ia keluar dari kuburnya dengan wajah yang lebih bersinar daripada sinar bulan pada malam purnama . Barangsiapa berpuasa tujuh hari dari bulan Rejab , maka pintu - pintu tujuh buah Neraka ditutup baginya , tiap - tiap sehari puasa ditutup satu pintu dari pintu - pintu Neraka itu . Barangsiapa berpuasa lapan hari dari bulan Rejab, maka dibuka untuknya pintu Syurga yang lapan buah itu , tiap- tiap sehari puasa sebuah pintu dibuka . Barangsiapa berpuasa sembilan hari dari bulan Rekab , maka ia keluar dari kuburnya sedangkan ia menyeru lah Ilaha Illallah , maka wajahnya tidak datang kecuali syurgalah baginya . Barangsiapa berpuasa sepuluh hari dari bulan Rejab , maka Allah menjadikan untuknya atas tiap- tiap satu mail Shirath akan permaidani yang ia beristirahat di atasnya . Barangsiapa berpuasa sebelas hari dari bulan Rejab , maka ia tidak akan dilihat di Akhirat nanti lebih utama daripadanya kecuali orang yang berpuasa Rejab seperti dia ataupun lebih daripadanya . Barangsiapa berpuasa dua belas hari dari bulan Rejab , maka pada hari Qiamat Allah memakaikannya dua pakaian , satu pakaian lebih baik daripada dunia dan segala isinya . Barangsiapa berpuasa tiga belas hari dari bulan Rejab , maka dihidangkan untuknya sebuah hidangan dalam bayang - bayang ' Arasy lalu ia memakannya sedangkan orang ramai berada dalam kesusahan yang amat sangat . Barangsiapa berpuasa empat belas hari dari bulan Rejab , maka Allah memberikannya pahala yang tidak pernah dilihat oleh mata , tidak didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati . Barangsiapa berpuasa lima belas hari dari bulan Rejab , maka Allah menempatkan dia di hari Qiamat di tempat orang - orang yang selamat , tiada lalu seorang Malaikat Muqarrabin dan tiada lalu pula seorang Nabi yang diutuskan kecuali mereka berkata : Berbahagialah engkau ! Engkau adalah di antara orang - orang yang selamat sejahtera ). Kata Ibnu - Jauzi :Hadith ini adalah Maudhu' Al-Kasa-i yang terdapat dalam sanadnya tidak dikenal orangnya . Manakala An-Naqqassi iaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Al- Hasan An- Naqqassi dituduh berbohong Sumber: Himpunan Hadis Dhaif dan Maudhu' (Jld 1) - Drs Abdul Ghani Azmi- m.s. 529 8. Puasa Tiga Bulan Berturut -turut Maksudnya: Dari Abu Hurairah ra : Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah menyempurnakan puasa sebulan penuh selepas Ramadhan melainkan bulan Rejab dan Sya'ban. I. Periwayat Hadith: At-Thabarani 2. Status Hadith: SANGAT LEMAH 3. Sebabnya: Didalam sanadnya terdapat seorang perawi bemama Yusuf bin Athiyyah bin Thabit. Kata Imam Al-Bukhari: Ia seorang yang mungkar hadithnya. Kata Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Hajar: Ia seorang yang ditinggalkan hadithnya (matruk). Kata Imam Abu Hatim, Imam Abu Zur' ah dan Imam Ad-Daruqutni: Ia seorang yang lemah hadithnya. Kata Imam Ibnu Hibban: Tidak harus berhujjah dengannya. Kata Imam Ibnu Ma'in dan Imam Abu Daud: Ia tidak memiliki sesuatu (yang soheh untuk dijadikan pegangan). 4. Keterangan: Hadith ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang puasa 3 bulan berturut-turut iaitu Rejab, Sya'ban dan seterusnya disambung dengan Ramadhan sebagaimana yang diamalkan oleh sebahagian umat Islam. . Tidak thabit Nabi SAW berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lain melainkan Ramadhan sahaja.Inilah amalan Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah ra, katanya: Maksudnya: Dan aku tidak pemah melihatnya (Nabi SAW) berpuasa sebulan penuh semenjak datang ke Madinah kecuali Ramadhan. .Inilah petunjuk Nabi SAW yang merupakan sebaik-baik petunjuk untuk diikuti dan dicontohi. Allah SWT berfirman: Maksudnya: Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul kepada kamu maka ambil/terimalah. 5. Kesimpulan: Nabi SAW tidak pemah berpuasa tiga bulan berturut-turut terus menerus. Sumber: Ibrahim Mohd Raja www.al-ahkam.net |
masri2 ![]() ![]() |
![]()
klik link dibwh untuk download risalah penuh tentang hal ini
http://www.4shared.com/file/3734236/e0dda1d/risalah_ustaz_asri-imsak_dan_kepalsuan_hadis_malam_ramadhan.html |
amira_aqilah ![]() ![]() |
![]() |
nurul_iman87 ![]() ![]() |
![]()
assalamualaikum....
'hadith' yang pertama tu selalu sangat lah dengar dari cramah2 sama ada dr radio ke masjid ke... kalau tak tahu hadith tu palsu, memang ssape akan mmpercayainya.... bahayanye, dahlah hadith munkar.... |
kembara_girl ![]() |
![]()
terima kasih...
baru tau rupa nya yang biasa dengar 2 hadis tak betul... saya ni orang yang tak tahu Apa bila ustaz bercerite percaya saja... kena leboih berhati-hati... |
sakeenah ![]() |
![]()
macam mana ye, hadith-hadith yang dhaif ini jugalah yang paling terkenal di saat bulan Ramadan ini..siapa yang sebarkan?? pelik...pelik...
|
al-fateh ![]() ![]() |
![]()
Hadis itu walaupun ada yang dhaif tetapi ia tetap bertaraf hadis. Tidak boleh disangkal atau ditinggalkan begitu sahaja. Malah Imam Nawawi masih berpegang bahawa hadis dhaif boleh digunapakai untuk tujuan fadhoilul amal. Tinggal lagi tidak boleh untuk tujuan hukum.
|
masri2 ![]() ![]() |
![]()
Pada 10-10-06 12:14 , al-fateh posting:
!!! QUOTE !!! Hadis itu walaupun ada yang dhaif tetapi ia tetap bertaraf hadis. Tidak boleh disangkal atau ditinggalkan begitu sahaja. Malah Imam Nawawi masih berpegang bahawa hadis dhaif boleh digunapakai untuk tujuan fadhoilul amal. Tinggal lagi tidak boleh untuk tujuan hukum. Hadis Dha‘if: Hukum dan Syarat Pengamalannya Oleh Hafiz Firdaus Abdullah (www.al-firdaus.com) 1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi. 2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if 3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if: Ulasan kepada syarat pertama Ulasan kepada syarat kedua. Ulasan kepada syarat ketiga 4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan 5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal 6. Rujukan 1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi. Kebanyakan orang yang membolehkan penggunaan hadis dha‘if menyandarkan hujah mereka kepada kata-kata al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H): Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if dalam bab keutamaan (al-Fadha’il), memberi anjuran (al-Targhib) dan amaran (al-Tarhib) asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Adapun dalam bab hukum-hakam seperti halal dan haram, jual-beli, penceraian dan apa-apa lain yang seumpama, tidak boleh beramal dengan hadis dha‘if kecuali dengan hadis yang sahih atau hasan. Melainkan jika hadis-hadis tersebut bersangkutan dengan sikap berhati-hati terhadap bab-bab tersebut, seperti hadis dha‘if yang menyebutkan makruhnya hukum melakukan sebahagian bentuk jual-beli atau pernikahan, maka disunatkan untuk menghindari daripadanya (yang makruh tersebut) namun ia tidak jatuh kepada hukum wajib. Ada yang menerima kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas sebulat-bulatnya, bahkan menganggap mudah bahawa pengamalan hadis dha‘if diperbolehkan asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Sebenarnya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh seseorang sebelum dia boleh mengamalkan hadis dha‘if. Syarat-syarat ini juga diketahui dan dipegang oleh al-Imam al-Nawawi, hanya beliau tidak menggariskannya dalam kitabnya al-Azkar kerana kitab tersebut bukanlah kitab ilmu hadis tetapi kitab yang dipermudahkan untuk menjadi amalan orang ramai. Hal ini seperti yang disebutkan sendiri oleh al-Imam al-Nawawi di bahagian muqaddimah kitab al-Azkarnya tersebut. Atas 2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if Dalam kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas, beliau menyebut bahawa: “Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if……†Kata-kata di atas sebenarnya bukan mencerminkan pandangan ijma’ tetapi jumhur ilmuan Islam. Hal ini diterangkan oleh al-Hafiz al-Sakhawi rahimahullah (902H): ……bahawa dalam pengamalan hadis dha‘if terdapat tiga pendapat: (yang pertama adalah) tidak dibolehkan beramal dengannya secara mutlak, (yang kedua adalah) boleh beramal dengannya jika dalam bab tersebut tidak ada yang selainnya (tidak ada hadis yang sahih atau hasan) dan yang ketiga – ini merupakan pendapat jumhur – boleh beramal dengannya dalam bab keutamaan asalkan bukan dalam bab hukum-hakam sepertimana yang telah disebutkan sebelum ini akan syarat-syaratnya. Atas 3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if. Sepertimana yang dikatakan oleh al-Hafiz al-Sakhawi di atas, jumhur ilmuan membolehkan penggunaan hadis dha‘if dalam bab keutamaan beramal selagi mana diperhatikan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh beliau seperti berikut: Saya mendengar guru kami rahimahullah (yakni al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, 852H) selalu berkata, bahkan telah mencatitkannya dengan tulisannya untuk saya bahawa syarat pengamalan hadis dha‘if ada tiga: 1. Yang disepakati, bahawa kelemahan hadis tersebut tidak berat. Maka terkeluarlah apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta atau dituduh sebagai pemalsu hadis serta yang parah kesalahannya. 2. Bahawa ianya mencakupi asas umum (agama). Maka terkeluarlah sesuatu yang diada-adakan kerana tidak memiliki dalil asas yang mengasaskannya. 3. Bahawa ia diamalkan tanpa berkeyakinan ia adalah sabit (daripada Nabi), agar tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apa yang tidak disabdakan olehnya. Seterusnya marilah kita mengulas lanjut tiga syarat di atas. 3.1 Ulasan kepada syarat pertama Hadis dha‘if yang diperbolehkan penggunaannya ialah hadis yang ringan kelemahannya. Maka dari sini dapat kita ketahui bahawa setiap hadis yang ingin digunakan, sekalipun untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran, perlu dirujuk kepada sumbernya yang asal dan disemak darjatnya. Ini kerana tanpa merujuk kepada sumbernya yang asal dan menyemak darjatnya, kita tidak akan mengetahui sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Dirujuk kepada sumbernya yang asal bererti mencari hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis sama ada ia benar-benar wujud atau tidak. Disemak darjatnya bererti dikaji sanadnya sama ada ianya sahih atau tidak. Jika ianya tidak sahih, maka disemak sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Jika kelemahannya ringan maka ia lulus syarat yang pertama ini, jika kelemahannya adalah berat maka ia gagal. Di sini penulis merasa perlu untuk membetulkan salah faham masyarakat, termasuk para da’i, penceramah, penulis dan ilmuan yang selain daripada ahli hadis, yang berpendapat boleh menggunakan apa jua hadis asalkan ia duduk di dalam bab keutamaan beramal (al-Fadha‘il) dan memberi anjuran serta amaran (al-Targhib wa al-Tarhib). Mereka tidak menyemak asal-usul hadis tersebut sama ada ia wujud atau tidak dalam kitab-kitab hadis yang lengkap dengan sanadnya. Lebih memberatkan, mereka tidak memberi perhatian langsung kepada darjatnya. Setiap hadis yang mereka temui dalam bab ini disampaikan terus dalam kuliah-kuliah atau karya-karya mereka. Ini sebenarnya adalah kesalahan yang amat berat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta, maka dia termasuk dalam salah seorang pendusta.†Terhadap hadis ini, al-Imam Ibn Hibban rahimahullah (354H) menukil daripada al-Imam Abu Hatim rahimahullah: Dalam hadis ini terdapat dalil yang membenarkan apa yang kami sebut, bahawa apabila seseorang itu meriwayatkan sebuah hadis yang tidak sah daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, apa sahaja hadis yang disandarkan kepada baginda, padahal dia mengetahui bahawa ia tidak sah, (maka) dia termasuk salah seorang pendusta. Malah maksud zahir hadis ini adalah lebih berat kerana baginda shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta…â€, baginda tidak mengatakan bahawa orang tersebut yakin bahawa hadis tersebut adalah dusta (tetapi sekadar memandangnya sebagai dusta). Maka setiap orang yang ragu-ragu sama ada yang diriwayatkannya itu adalah sahih atau tidak sahih termasuk dalam zahir perbicaraan hadis ini. Perkara yang sama juga disebut oleh al-Imam al-Thohawi rahimahullah (321H): Sesiapa yang menyampaikan hadis daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdasarkan sangkaan, bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara batil. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara batil (maka) dia berdusta ke atas baginda sebagaimana seorang pendusta hadis. Mereka termasuk dalam sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam: “Sesiapa yang berdusta ke atas aku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di dalam neraka.†Kami berlindung daripada Allah Ta‘ala daripada yang sedemikian. Berdasarkan syarat yang pertama ini, hendaklah kita pastikan bahawa setiap hadis yang digunakan untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran memiliki sumber rujukannya serta dijelaskan darjatnya. Tidak boleh disampaikan sesuatu hadis dengan sangkaan ia memiliki rujukan dan darjat yang paling rendah adalah ringan kelemahannya kerana sangkaan seperti ini termasuk dalam kategori mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Umpamakan hal ini seperti seorang jurujual yang mempromosi sebuah buku. Dia menceritakan kepada para pelanggannya bahawa buku tersebut adalah baik serta banyak maklumat yang benar lagi besar manfaatnya. Padahal si jurujual itu sendiri pada asalnya tidak pernah membaca buku tersebut untuk membezakan sama ada ia adalah baik atau tidak, jauh sekali daripada mengkaji maklumat di dalamnya sama ada ia adalah benar atau tidak. Nah, apa yang dipromosikan oleh si jurujual ini terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Namun oleh kerana dia tetap membuat promosi tanpa menerangkan hakikat yang sebenar, dia sebenarnya berdusta kepada para pelanggannya. Demikianlah juga dengan seseorang yang menyampaikan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tanpa dia sendiri mengetahui asal usul dan darjatnya. Apa yang disampaikannya terbuka kepada kemungkinan benar atau salah. Namun apabila dia tetap menyampaikan hadis tersebut dan menyandarkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia juga dikira berdusta ke atas baginda. Oleh itu hendaklah kita sentiasa peka kepada syarat yang pertama ini, sama ada kita adalah sebagai penyampai atau penerima hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Pastikan ia memiliki sumber rujukan dan dijelaskan darjatnya. Jika syarat yang pertama ini tidak dipenuhi, hendaklah hadis tersebut ditinggalkan sekalipun ia memiliki kedudukan yang masyhur di kalangan masyarakat. Atas 3.2 Ulasan kepada syarat kedua. Hadis dha‘if tidak boleh digunakan untuk menetapkan sesuatu amalan, perintah atau larangan. Peranan hadis dha‘if tidak lain sekadar menerangkan keutamaan satu amalan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Hadis dha‘if juga tidak boleh digunakan untuk menganjur atau melarang sesuatu perkara melainkan perkara tersebut telah tetap hukumnya daripada al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata: Berkata (al-Imam) Ahmad bin Hanbal, apabila datang (persoalan) halal dan haram kami memperketatkan semakan sanad dan apabila datang (persoalan) memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib) kami memudahkan semakan sanad. (Ibn Taimiyyah mengulas lanjut): Demikianlah apa yang disepakati oleh para ilmuan tentang beramal dengan hadis dha‘if dalam keutamaan beramal. Ia tidaklah bermaksud menetapkan hukum sunat berdasarkan hadis yang tidak boleh dijadikan hujah dengannya (kerana ia adalah dha‘if). Ini kerana “sunat†merupakan hukum syari‘at yang tidak boleh ditetapkan melainkan dengan dalil syari‘at juga. Sesiapa yang mengkhabarkan daripada Allah bahawasanya Dia menyukai (menyunatkan) sesuatu amal tanpa dalil syari‘i maka sungguh dia telah mensyari‘atkan dalam agama apa yang tidak diizinkan Allah. Sebagai contoh, hadis-hadis berkenaan puasa pada bulan Rejab dan solat khusus pada malam-malam tertentu bulan Rejab semuanya tidak ada yang sahih. Syaikh Sayid Sabiq menegaskan: Berkenaan puasa pada bulan Rejab, tidak ada kelebihan yang menonjol (tentang bulan Rejab) berbanding bulan-bulan lain, kecuali bahawa ia termasuk daripada bulan-bulan haram (yakni bulan Zulqa‘idah, Zulhijjah, Muharram dan Rejab). Tidak diterima dalam sunnah yang sahih bahawa berpuasa dalam bulan Rejab memiliki keutamaan yang khusus. Adapun apa yang datang tentangnya (keutamaan berpuasa pada bulan Rejab), ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai hujah. Berkata (al-Hafiz) Ibn Hajar (al-Asqalani), tidak diterima (apa-apa) hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujah tentang keutamaannya (bulan Rejab), mahupun tentang puasanya dan puasa pada hari-hari tertentu daripadanya mahupun solat pada malam yang tertentu daripadanya. Apabila tidak wujud hadis yang sahih yang menetapkan wujudnya “Puasa sunat Rejab†dan “Solat malam Rejab yang ke sekian-sekian hariâ€, hadis-hadis yang menerangkan keutamaan berpuasa dan bersolat pada bulan Rejab tidak memiliki apa-apa nilai. Yang lebih penting, ia tidak boleh dijadikan dalil untuk menghukum sunat berpuasa dan bersolat secara khusus kerana bulan Rejab. Sebenarnya terdapat banyak lagi amalan yang dilakukan oleh umat Islam berdasarkan hadis yang dha‘if tanpa diperhatikan sama ada amalan tersebut terlebih dahulu telah ditetapkan atau tidak oleh dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Setakat ini berdasarkan ulasan kepada syarat yang pertama dan kedua, hendaklah setiap orang yang ingin beramal dengan hadis dha‘if menyemak terlebih dahulu bahawa: 1. Hadis yang ingin dijadikan sumber amalan memiliki rujukan dalam kitab yang asal dan telah disemak bahawa ia sekurang-kurangnya memiliki darjat kelemahan yang ringan. 2. Amalan tersebut telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih manakala hadis yang lulus syarat pertama di atas tidak lain hanyalah untuk menerangkan keutamaan amalan tersebut. Atas 3.3 Ulasan kepada syarat ketiga Apabila menggunakan hadis dha‘if yang telah memenuhi dua syarat yang pertama di atas, hendaklah diingati bahawa tidak boleh berkeyakinan hadis tersebut adalah sabit daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Berdasarkan syarat yang ketiga ini, para ahli hadis telah menetapkan bahawa hadis yang dha‘if tidak boleh disandarkan sebutannya kepada diri Rasulullah secara jelas tetapi perlu diisyaratkan kelemahannya. Misalnya, tidak boleh berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahawa……†tetapi hendaklah berkata: “Dalam kitab Mu’jam al-Kabir oleh al-Imam al-Thabarani, terdapat sebuah hadis dha‘if yang berbunyi ……†atau apa-apa lain yang seumpama. Al-Imam al-Nawawi menjelaskan: Berkata para ilmuan peneliti (al-Muhaqqiqun) daripada kalangan ahli hadis dan selain mereka, apabila sebuah hadis adalah dha‘if tidak boleh dikatakan terhadapnya “Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam …†atau “Rasulullah telah berbuat…†atau “Rasulullah telah memerintahkan…†atau “Rasulullah telah melarang…†atau “Rasulullah telah menghukum…†dan apa-apa lain yang menyerupainya daripada bentuk kalimah yang menunjukkan kepastian. Demikian juga, tidak boleh dikatakan terhadap (hadis dha‘if tersebut) “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah…†atau “Berkata Abu Hurairah…†atau “Disebut oleh Abu Hurairah…†atau “Dikhabarkan oleh Abu Hurairah…†atau “Dihadiskan oleh Abu Hurairah…†atau “Dinukil oleh Abu Hurairah…†dan apa-apa lain yang menyerupainya. Demikian juga, tidak boleh dikatakan yang seumpama terhadap para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka terhadap apa yang dha‘if. Tidak boleh berkata terhadap apa jua riwayat yang dha‘if dengan kalimah yang menunjukkan kepastian. Sesungguhnya yang (boleh) dikatakan hanyalah “Diriwayatkan daripadanya…†atau “Dinukil daripadanya…†atau “Dihikayatkan daripadanya…†atau “Didatangkan daripadanya…†atau “Disampaikan daripadanya…†……… dan apa yang menyerupainya daripada kalimah yang menunjukkan kelemahan, tidak daripada kalimah yang menunjukkan kepastian. Mereka (para ilmuan peneliti) berkata, kalimah yang menunjukkan kepastian ditujukan untuk hadis yang sahih atau hasan manakala kalimah yang menunjukkan kelemahan ditujukan kepada apa yang selain daripada kedua-dua (bukan hadis sahih dan bukan hadis hasan). Amat penting untuk mengisyaratkan kedha‘ifan hadis tersebut agar: 1. Orang ramai dapat mengetahui bahawa si penyampai telah menyemak sumber dan darjat hadis tersebut, 2. Orang ramai tidak menganggapnya sebagai sebuah hadis yang sahih, 3. Orang ramai tidak menetapkan hukum berdasarkan hadis tersebut, 4. Seandainya wujud kemusykilan dalam maksud hadis tersebut, ia tidak mengelirukan orang ramai kerana mereka tahu ia tidak sahih. Jika syarat ketiga ini tidak diperhatikan, orang ramai tidak akan dapat membezakan antara hadis yang sahih dan tidak sahih. Akibatnya mereka akan mengamalkan hadis tersebut sebagai sumber hukum dan menyebarkannya kepada masyarakat dengan anggapan ia adalah benar dan baik. Akhirnya ia akan menjadi masyhur dan sebati di dalam masyarakat dan menganggapnya sebahagian daripada syari‘at Islam. Ini sama-sama dapat kita perhatikan di negara kita sendiri masa kini. Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang natijah buruk ini kira-kira 500 tahun yang lalu: Sedia dikenali bahawa para ahli ilmu mempermudahkan penerimaan hadis dalam bab keutamaan (al-Fadha’il) sekalipun di dalamnya memiliki kelemahan selagi mana ia bukan hadis maudhu’. Namun disyaratkan bagi orang yang mengamalkannya bahawa dia yakin hadis tersebut adalah dha‘if dan dia tidak memasyhurkannya kerana dibimbangi seseorang lain akan beramal dengan hadis yang dha‘if tersebut (tanpa mengetahui ia adalah dha‘if) sehingga mensyari‘atkan apa yang tidak disyari‘atkan atau dia meriwayatkannya kepada sebahagian orang yang jahil sehingga disangkakan ia adalah sunnah yang sahih. Demikianlah ulasan kepada tiga syarat penting yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menggunakan hadis dha‘if. Apabila sesebuah hadis telah lulus tiga syarat di atas, terdapat dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, iaitu: Atas 4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan Jika di dalam sebuah bab terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan dan dha‘if, maka hendaklah seseorang itu memberi prioriti kepada yang sahih dan hasan sahaja. Sebabnya: 1. Hadis yang sahih dan hasan adalah sabit daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam manakala hadis yang dha‘if masih terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Maka berpegang kepada yang pasti adalah lebih utama daripada yang diragui. 2. Menyibukkan diri dengan hadis yang dha‘if lazimnya akan menyebabkan hadis yang sahih dan hasan terpinggir. Ini kerana setiap individu memiliki kemampuan yang terhad. Jika kemampuan itu dipenuhi dengan menyibukkan diri dengan hadis dha‘if, maka hadis yang sahih dan hasan akan tercicir daripada dirinya. Poin kedua di atas pernah diulas oleh al-Imam ‘Abd al-Rahman bin Mahdi rahimahullah (198H): Tidaklah wajar seseorang itu menyibukkan dirinya dengan menulis hadis-hadis yang dha‘if kerana kesibukannya itu akan mengakibatkan tercicirnya hadis daripada para perawi yang thiqah (terpercaya = hadis sahih) sebanyak hadis daripada perawi lemah yang ditulisnya. Izinkan penulis memberi satu contoh. Setiap tahun ketika tibanya Nisfu Sya’ban, ada di antara kita yang berpuasa, bersolat malam, membaca surah Yasin tiga kali dengan doa tertentu di antaranya dan pelbagai lagi. Semua amalan ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Hadis-hadis yang menganjurkannya tidak ada yang sahih dan tidak boleh dijadikan dasar bagi menetapkan sesuatu amalan. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizahullah menukil kata-kata al-Imam Ibn al-‘Arabi rahimahullah (543H) dalam persoalan ini: Tidak ada sebuah hadis jua yang dipercayai kesahihannya mengenai keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Jika kita (hendak) menerima hadis-hadis yang menerangkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan kita hendak memperingatinya dengan amal kebajikan, maka hal ini tidak pernah berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mahupun daripada para sahabat radhiallahu ‘anhum dan kaum muslimin abad-abad pertama. Padahal mereka semua termasuk umat Islam yang terbaik. Daripada semua sumber tersebut tidak ada riwayat yang menerangkan bahawa malam Nisfu Sya’ban diperingati dengan berkumpul di masjid-masjid, membaca doa-doa tertentu dan melakukan solat-solat khusus seperti yang kita saksikan di beberapa negeri kaum muslimin. Bahkan di beberapa negeri sejumlah orang berkumpul sesudah solat Maghrib di masjid-masjid lalu membaca surah Yasin, solat dua rakaat dengan niat memohon panjang umur, ditambah dua rakaat lagi dengan doa dijauhkan ketergantungan hidup daripada orang lain, kemudian mereka membaca doa panjang lebar yang tidak berasal daripada seorang pun daripada kalangan Salaf. Doa yang mereka baca itu pula menyalahi nas-nas (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta mengandungi hal-hal yang saling berlawanan maksudnya. Dalam kesibukan kita membaca, menyebar dan mengamalkan hadis-hadis yang dha‘if berkenaan malam Nisfu Sya’ban, kita telah keciciran sebuah hadis yang sahih mengenainya. Hadis tersebut ialah: “Allah akan memperhatikan semua makhluk pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia mengampuni semua makhluknya kecuali orang musyrik dan yang bermusuhan (sesama sendiri).†Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban, berkata Syaikh Syu‘aib al-Arna’uth hafizahullah dalam semakannya ke atas Shahih Ibn Hibban (Muassasah al-Risalah, Beirut 1997) jld. 12, masa. 481, no: 5665: “Hadis sahih bi syawahid.†Hadis ini juga dihimpun oleh al-Imam al-Munziri rahimahullah (656H) dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib (Dar Ibnu Katsir, Damsyik 1999), jld. 2, masa. 51, no: 1517. Berkata para penyemak: Shaikh Samir Ahmad al-‘Athar, Yusuf Ali Badiwi & Muhyiddin Dibb Matsu: “Sahih bi syawahid.†Berkata Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib (Maktabah al-Ma‘arif, Riyadh 2000), jld. 1, masa. 597, no: 1026: “Hasan Sahih.†Sama-sama kita bertanya kepada diri kita, adakah kita mengetahui tentang hadis ini? Adakah selama ini hadis di atas tersembunyi atau tercicir daripada pengetahuan kita kerana selama ini kita sibuk dengan pelbagai hadis lain, yang tidak satu jua yang sahih, berkenaan malam Nisfu Sya’ban? Lebih jauh, sudahkah kita mengamalkan hadis ini? Mengamalkan hadis ini bukanlah dengan berpuasa, bersolat malam, berzikir, berdoa dan sebagainya. Akan tetapi beramal dengannya ialah kita melayakkan diri kita supaya memperoleh pengampunan Allah Subhanahu wa Ta‘ala pada malam Nisfu Sya’ban. Terdapat dua syarat kelayakan, yang pertama kita lulus, alhamdulillah. Yang kedua perlu kita pastikan bahawa kita tidak bermusuhan dengan sesiapa di kalangan umat Islam. Jika ada, mungkin saudara, jiran, rakan kerja dan sebagainya, hendaklah kita bermaafan dan menghubungkan semula silraturahim. Inilah cara “mengamalkan†hadis sahih di atas berkenaan malam Nisfu Sya’ban. Atas 5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal Kepentingan atau keburukan sesuatu amal tidak boleh diukur berdasarkan hadis-hadis dha‘if sahaja. Sering kali para penulis dan penceramah begitu ghairah menyampaikan hadis-hadis dha‘if dalam memberi anjuran dan amaran tanpa disedari bahawa anjuran dan amaran tersebut nilainya telah dilebih-lebihkan daripada apa yang sepatutnya. Mereka menganggap hal ini akan memberi manfaat kepada umat tetapi yang benar adalah di sebaliknya. Ganjaran yang dibesar-besarkan kepada amalan yang kecil akan mengakibatkan seseorang itu meremehkan agama, dengan anggapan memadailah dia membuat amalan yang sedikit kerana ganjarannya sudah lebih dari mencukupi. Sedangkan amaran yang dibesar-besarkan terhadap kesalahan yang kecil akan menyebabkan seseorang itu menjauhkan diri daripada Allah dan merasa putus asa daripada keampunan-Nya. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menerangkan hal ini dengan lebih lanjut: Hadis-hadis yang memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib), sekalipun tidak memuat hukum halal atau haram, ia memuat sesuatu lain yang sangat penting dan berbahaya, iaitu ia merosakkan nilai amal atau kewajiban yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at Yang Maha Bijaksana. Setiap amal yang diperintahkan ataupun dilarang memiliki “nilai†tertentu di sisi Pembuat syari'at dalam kaitannya dengan amal-amal yang lain. Kita tidak boleh melampaui had yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at sama ada dengan menurun atau menaikkannya. Di antara hal yang sangat berbahaya ialah memberi nilai sebahagian amalan lebih besar dan banyak daripada ukurannya yang sebenar dengan membesar-besarkan pahalanya sehingga mengalahkan amalan lain yang lebih penting dan lebih tinggi derajatnya dalam pandangan agama. Demikian juga memberikan kepentingan kepada amalan yang dilarang dengan membesar-besarkan seksanya sehingga mengalahkan amalan lainnya. Membesar-besarkan dan melebih-lebihkan janji pahala dan ancaman siksa akan mengakibatkan rosaknya gambaran agama di mata sebahagian orang karena mereka akan menyandarkan apa yang mereka dengar atau baca tersebut kepada agama padahal agama itu sendiri bebas dari semua itu. Seringkali tindakan melebih-lebihkan, terutama dalam soal ancaman, akan menimbulkan akibat yang sebaliknya dan kegoncangan jiwa. Bahkan seringkali orang yang berlebih-lebihan itu akan menjauhkan diri mereka daripada-Nya (kerana putus asa dan merasa tidak layak memperoleh keampunan Allah ke atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan) Kita wajib menjaga amal perbuatan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya yang telah digariskan oleh syari‘at tanpa terjerumus ke dalam tindakan melebih-lebihkan. Ini hanya akan membawa kita kepada salah satu dari dua bentuk pelampauan, sama ada yang menambah atau mengurang, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anh: “Kalian harus mengambil sikap pertengahan, yang kepadanya orang tertinggal harus disusulkan dan kepadanya pula orang yang berlebihan harus dikembalikan. Berdasarkan tiga syarat pengamalan hadis dha‘if dan dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, sama-sama dapat diambil iktibar bahawa menggunakan hadis dha‘if tidaklah semudah yang disangka. Hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah salah satu sumber syari‘at di sisi al-Qur’an al-Karim. Maka kita perlu berinteraksi dengannya melalui disiplin-disiplin yang telah digariskan oleh para ahli hadis. Apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabdakan berkenaan agama tidak lain adalah wahyu Allah. Apabila kita bersikap leka dalam berinteraksi dengan hadis-hadis baginda, kita bukan sahaja mendedahkan diri kepada kemungkinan berdusta di atas nama Rasulullah tetapi juga berdusta di atas nama Allah. Oleh itu hendaklah setiap individu memberi perhatian khusus dalam bab ini. Jangan menerima sebarang hadis sekalipun yang menyampaikannya adalah orang yang masyhur di mata masyarakat. Pastikan bahawa setiap hadis yang disampaikan mematuhi syarat-syarat di atas. Apabila membaca buku-buku agama, pastikan setiap hadis diberikan rujukan, lengkap dengan nombor hadis dan bab. Jangan berpuas hati dengan catitan “Hadis riwayat al-Bukhari†atau “hari Muslim†kerana terdapat sebahagian penulis yang berbuat demikian padahal hadis tersebut tidak wujud di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Apabila mendengar khutbah, kuliah, ceramah dan sebagainya, jangan segan-segan bertanya kepada penyampainya: “Ustaz, hadis yang ustaz sebut itu siapa yang meriwayatkannya dan apa darjatnya?†atau apa-apa lain yang seumpama. Setiap mukmin yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya berhak untuk bertanya dan setiap penyampai yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak boleh merasa ego untuk menjawab. Akan tetapi jika penyampai tersebut tidak ingat pada saat itu, berilah dia tempoh untuk menyemak semula agar dia dapat menjelaskannya pada masa yang akan datang. Tanpa berlebih-lebihan, penulis menganjurkan para pembaca sekalian meninggalkan mana-mana penulis dan penyampai agama yang tidak berdisiplin dalam mengemukakan hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kita perlu bertegas dalam hal ini, bukan sahaja supaya amalan kita sentiasa berada di atas ukuran yang benar tetapi supaya para penulis dan penyampai tersebut tidak mengambil mudah perkara ini. 6. Rujukan: al-Azkar (diteliti oleh ‘Amr bin ‘Ali Yasin; Dar Ibn Khuzaimah, Riyadh 2001), masa. 53 al-Qaul al-Badi’ fi Fadhli Shalat ‘ala al-Habib al-Syafi’ (diteliti oleh Muhammad ‘Awwamah; Muassasah al-Rayan, Beirut 2002), masa. 473 al-Qaul al-Badi’, masa. 472 al-Majruhin min al-Muhadditsin (diteliti oleh Hamidi bin ‘Abd al-Rahman; Dar al-Shomi‘in, Riyadh 2000), jld. 1, masa. 16-17 Musykil al-Atsar (diteliti oleh Muhammad ‘Abd al-Salah Syahin; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut 1995), jld. 1, masa. 123 Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah 2001), jld. 18, masa. 65 Fiqh al-Sunnah (Dar al-Fath, Kaherah 1999), jld. 1, masa. 516 al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (diteliti oleh Muhammad Najib Ibrahim; Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut 2001), jld. 1, masa. 134 Tabyin al-‘Ujab bi ma warada fi Fadhli Rejab, masa. 3-4; dinukil daripada Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah oleh Syaikh al-Albani rahimahullah (1999) (Dar al-Rayah, Riyadh 1409H), jld. 1, masa. 36 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi (463H) dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Maktabah al-‘Alamiyah, Madinah), masa. 132 Fatawa Mu‘ashirah (edisi terjemahan oleh al-Hamid al-Husaini dengan judul Fatwa-Fatwa Mutakhir; Pustaka Hidayah, Bandung 1996), masa. 480-481 al-Muntaqa min Kitab al-Targhib wa al-Tarhib li al-Munziri (Dar al-Wafa’, Kaherah 1993), jld. 1, masa. 49-50 http://darulkautsar.com/penghadis/lanjutan/hukumhadisdoif.htm |
mas2ra ![]() ![]() |
![]() |
nurhaziqah ![]() ![]() |
![]() |
Addey ![]() ![]() |
![]() |
rasha_aleeya ![]() |
![]()
'Apabila malam Lailatul-Qadri Jibrail turun dalam satu golongan para Malaikat yang berselawat ( berdoa') ke atas tiap - tiap hamba Allah yang bangun dan yang duduk berzikir kepada Allah Azza Wa Jalla'
hadith yang ni tak benar juga ke? ni saya ambik petikan dr anas bin Malik, Anas ibn Malik related that Rasulullah said: When Lailat al-Qadr comes Gabriel descends with a company of angels who ask for blessings on everyone who is remembering Allah, whether they are sitting or standing (Baihaqi). Kata Ibnul- Jauzi: Hadith ini tidak sah . Ashram yang terdapat dalam sanadnya ialah Ashram bin Hausyab. Kata Yahya : Dia adalah pembohong yang sangat jelek . Kata Ibnu Hibban : Ashram ini membuat Hadith atas orang - orang yang thiqah . adakah anas bin Malik seorang pembohong jelek.......sedangkan saya rasa,banyak hadith yang ditulisnya.. ada sesiapa yang arif pasal ni....boleh tolong terangkan |
tanpanama ![]() |
![]() !!! QUOTE !!! adakah anas bin Malik seorang pembohong jelek.......sedangkan saya rasa,banyak hadith yang ditulisnya.. bukan anas bin malik seorang pembohong... tetapi perawi kemudian... nampaknya anda silap faham ayat di atas.. bukankankah yahya mengatakan kepada ashram?? |
rasha_aleeya ![]() |
![]()
Pada 19-10-06 13:33 , tanpanama posting:
!!! QUOTE !!!
habis tu kesimpulannya hadith tu benar ke palsu.... lagi pun hadith tu di riwayatkan oleh anas bukan ashram...... saya masih tak faham......kadang-kadang bukan seorang yang menyimpan hadith,tetapi ramai.....so, kalau lebih dr seorang yang menulis hadith tu....adakah ia palsu juga.... maaf saya bertanya sebab saya baru nak belajar kumpul hadith.....dan memahami hadith... ----------------- Whatever Happen life still go on |
masri2 ![]() ![]() |
![]()
Pada 19-10-06 13:57 , rasha_aleeya posting:
!!! QUOTE !!! Pada 19-10-06 13:33 , tanpanama posting: assalamualaikum WBT hadis tu xsahih kerana cacatnye pada sanadnya. bila sanadnya xsahih,maka tiada bukti yang kuat untuk nyatakan ia diriwayatkan oleh anas bin malik saya bagi contoh satu hadis sanadnya macam ni A->B->C-> SAHABAT NABI SAW->RASULULLAH SAW maka bila ulama hadis check sanadnya, didapati B perawi yang dutsa, maka hadisitu ditolak kerana tidak sahih jn periwayatannya. sebagai contoh saya bagitahu cik aleeya tentang sesuatu berita yang menyatakan si polan berkata begitu begini. dan si polan ni menyatakan bahawa cikgu dia yang cakap. lepas siasat si polan ni suka berdusta, maka ceritanya tidak boleh dipercayai, bahkan mungkin dia hanya mereka-reka kononnya cikgunya berkata begitu. begitu juga dengan perawi yang dituduh dusta, boleh jadi dia mereka-reka kononnya Anas bin Malik ra berkata sedemikian. wasalam wbt |
Member Messages |
Forum Search & Navigation |
---|---|
Log in to check your private messages |